Beranda | Artikel
Risalah Akikah
Senin, 8 Agustus 2022

Edisi 1848

  • Akikah hukumnya adalahsunnah (anjuran). Inilah pendapat mayoritas ulama
  • Mayoritasulama berpendapat bahwa waktu akikah di hari ketujuh bersifat keutamaan saja sehingga boleh sebelum atau sesudahnya
  • Jumlahhewan bukanlah syarat, tapi keutamaan dan anjuran saja. Seandainya ada yang menyembelih akikah untuk  anak laki-laki seekor kambing maka hukumnya tetap sah dan boleh
  • Tidak mengapa hewan sembelihan tersebutjantan atau betina
  • Dianjurkan membagikandaging akikah dalam bentuk sudah dimasak

Setiap bayi tergadaikan dengan akikahnya, disembelihkan (kambing) pada hari ketujuh, dicukur rambutnya serta diberi nama.”

(H.R. Abu Dawud)

Akikah secara bahasa artinya menyembelih. Makna aslinya adalah rambut bayi saat dicukur, kemudian istilah tersebut digunakan untuk kambing yang disembelih saat bayi dicukur rambut kepalanya. (Ash-Shihah 4/1527, An-Nihayah 3/276, Gharibul Hadits 2/153) Adapun secara istilah Akikah adalah sembelihan untuk anak yang baru lahir pada hari ketujuh (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab 8/248 oleh an-Nawawi)

Disyariatkannya melakukan akikah

Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap bayi tergadaikan dengan akikahnya, disembelihkan (kambing) pada hari ketujuh, dicukur rambutnya serta diberi nama.” (H.R. Abu Dawud 2837 dan Tirmidzi 1522)

Dari Ummu Kurzin Al-Ka’biyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Untuk anak laki-laki akikahnya adalah dua kambing yang sepadan, sedangkan anak perempuan satu kambing.” (H.R. Abu Dawud 2834; Tirmidzi 3835; Nasai 4213; Ahmad 6/381)

Akikah hukumnya anjuran ataukah wajib?

Ada tiga pendapat ulama tentang hukum akikah:

Pertama: Akikah hukumnya adalah sunnah (anjuran). Inilah pendapat mayoritas ulama ahli fiqih dan ahli hadits, madzhab Malik, Syafi’I dan Ahmad. (Al-Mughni 13/393 oleh Ibnu Qudamah)

Kedua: Akikah hukumnya wajib. Pendapat ini dikuatlan oleh sejumlah ulama seperti Hasan al-Bashri, Abu Zinad, madzhab Dhohiriyyah dan sebagainya (Lihat Al-Istidzkar 15/371 oleh Ibnu Abdil Barr, Al-Muhalla 8/251 oleh Ibnu Hazm)

Ketiga: Aqiqah hukumnya mubah (boleh) saja dan tidak disunnahkan. Mereka beralasan syariat sembelihan qurban telah menghapus semua jenis sembelihan sebelumnya. Ini pendapat Hanafiyyah. (Bada’iu Shona’i 5/169) Namun pendapat ini lemah sekali. 

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama.

Waktu pelaksanaan akikah

Mayoritas ulama berpendapat bahwa waktu akikah di hari ketujuh bersifat keutamaan saja sehingga boleh sebelum atau sesudahnya.

Ibnul Qayyim berkata: “Dzohirnya bahwa penetapan hari ketujuh itu bersifat anjuran, seandainya dia menyembelih hari keempat, kedelapan, kesepuluh atau setelahnya maka sah dan boleh”. (Tuhfatul Maudud hlm. 35)

Perhitungan hari berdasarkan penanggalan hijriyah yang dimulai dari masuknya waktu magrib. Anjuran hari ketujuh merupakan anjuran untuk penyembelihan, bukan untuk pendistribusian hasil olahan daging akikah.

Jumlah hewan akikah

Disyari’atkan untuk menyembelih hewan akikah dua ekor untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan berdasarkan hadits di atas.

Namun jumlah hewan bukanlah syarat, itu hanya bersifat keutamaan dan anjuran saja. Seandainya ada yang menyembelih akikah untuk  anak laki-laki seekor kambing maka hukumnya tetap sah dan boleh. (Al-Mughni  13/396)

Syeikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syeikh mengatakan: “Sebaiknya tidak menambah lebih dari dua ekor, kecuali bila dia ingin mengundang tamu dengan jumlah yang banyak, sedangkan dua ekor tidak cukup maka tidak apa-apa”. (Fatawa Ibnu Ibrahim  6/158)

Syarat hewan akikah

Imam Malik berkata: “Aqiqah kedudukannya seperti qurban, tidak boleh hewan yang cacat matanya, pincang, sakit, tidak boleh dijual dagingnya atau kulitnya, keluarganya boleh makan dagingnya”. (Al-Muwatho’  2/502)

Dan tidak mengapa hewan sembelihan tersebut jantan atau betina. Hewan akikah tidak boleh selain hewan qurban seperti ayam, bebek, burung atau lainnya. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa hewan akikah hanyalah kambing saja, tidak boleh yang lain.

Akikah ketika dewasa

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakikahi dirinya setelah diutus dengan kenabian. (H.R.  Ath-Thahawi dalam Al-Musykil 1/461 dan Thabrani dalam Al-Ausath 1/529 dengan sanad hasan)

Hal ini ditegaskan oleh sebagian ulama tabi’in. 

Ibnu Sirin berkata: “Seandainya saya tahu kalau saya belum diakikahi, niscaya saya akan mengakikahi untuk diriku.” (Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 8/235 dan dishahihkan al-Albani dalam ash-Shahihah 6/506)

Hasan Bashri berkata: “Kalau engkau belum diakikahi, maka akikahilah sendiri sekalipun sudah dewasa.” (Ibnu Hazm dalam al-Muhalla 8/322 dan dihasankan al-Albani dalam ash-Shahihah 6/506)

Bolehkah berhutang agar bisa melakukan akikah?

Sebagian ulama mengatakan boleh berhutang untuk akikah bagi yang memiliki harapan bisa melunasi hutangnya. 

Imam Ahmad berkata: “Jika seorang tidak mampu untuk akikah lalu dia berhutang, aku berharap Allah akan menggantinya, karena dia telah menghidupkan sunnah”. (Al-Inshof  4/101 oleh al-Mardawi)

Boleh juga jika akikah dibiayai oleh selain orangtua. Sebagaimana pendapat syaikh Ibnu Jibrin Rahimahullah, “Jika si anak di akikahi oleh kakeknya atau saudaranya atau yang lainnya maka ini juga boleh. Tidak disyaratkan harus oleh ayahnya atau dibiayai sebagiannya.” (Aktsar min Alf Jawab lil Mar’ah)

Disunnahkan menggundul rambut bayi, bersedekah seberat rambut, dan memberikan masakan daging akikah kepada yang membantu persalinan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada Fathimah radhiyallahu ‘anha, “Timbanglah rambut Husain, dan bersedekahlah dengan perak seberat tambut tersebut. Berikanlah kaki kambing aqiqah kepada bidan (dukun bayi).” (H.R. Al-Hakim dalm Al-Mustadrak. Sahih).

Memberi wewangian pada kepala bayi

Dikisahkan oleh Buraidah radhiyallahu ‘anhu, “Dahulu ketika kami masih dalam masa jahiliah, apabila lahir anak salah seorang di antara kami, maka dia menyembelih kambing dan mengoleskan darahnya ke kepala bayi itu. Maka ketika Allah datangkan Islam, kami menyembelih kambing, mencukur rambut bayi, dan mengolesi kepalanya dengan za’faran (jenis minyak wangi).” (H.R. Abu Dawud no. 2843. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata dalam Shahih Sunan Abu Dawud bahwa hadits ini hasan sahih)

Dianjurkan membagikan daging akikah dalam bentuk sudah dimasak

Diperbolehkan untuk mengadakan walimah akikah untuk makan bersama daging akikah atau membagikannya kepada yang berhak. Jika dibagikan, maka dianjurkan dalam keadaan sudah dimasak.

Dalam Masail Imam Ahmad hlm. 256 ditanyakan kepada beliau: “Apakah daging akikah sebaiknya dimasak?” Beliau menjawab: “Ya”. Dikatakan kepada beliau: “Berat baginya untuk memasaknya”. Beliau menjawab: “Dan berat bagi mereka (yang diberi) juga untuk memasaknya.”.

Apakah untuk Janin Prematur tetap diadakan akikah?

Menurut syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah bila janin terlahir setelah 4 bulan maka hukumnya sebagaimana bayi hidup maupun mati. Karena jika telah sempurna 4 bulan roh telah ditiupkan. Jika terlahir setelah itu, maka dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan di pekuburan kaum muslimin, dinamai serta dia akikahi.

Jika terlahir sebelum ditiupkan roh (kandungannya berumur di bawah empat bulan) maka menurut Fatwa Al-Lajnah ad Da’imah adalah tidak ada akikah baginya walaupun telah tampak sebagai laki-laki atau perempuan.

[Diringkas dari fikih aqiqoh karya Ustadz Abu Ubaidah As-sidawi dan panduan praktik aqiqah Abu Muhammad Ibnu Shalih Hasbullah)

Ditulis oleh : Ustaz Muhammad Rezki Hr., S.T., M.Eng., Ph.D (Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)

Dimurajaah : Ustaz Abu Salman, B.I.S.


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/risalah-akikah/